Sumenep (Madura Portal) - Gara-gara dituding mencuri bakpia dan kripik, lima siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Kalianget, Sumenep, terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Kelima siswa tersebut yakni NR, RAM, JP, MN, FD.
Kisah pilu itu berawal ketika para siswa kelas dua itu mengikuti praktek kerja industri (prakerin) selama dua bulan, di Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), Pandaan, Pasuruan. Saat kerja lembur, mereka diberi camilan produksi SPAT, seperti bakpia dan keripik, oleh karyawan setempat.
Namun makanan kecil pemberian karyawan SPAT itu, oleh kelima siswa SMKN 1 tidak dimakan, melainkan disimpan dan dibawa pulang untuk oleh-oleh. Ternyata ketika prakerin berakhir dan bawaan mereka digeledah satpam setempat, mereka dianggap sudah melakukan pencurian, karena membawa barang- barang produksi perusahaan tanpa ijin.
Salah satu siswa, NR (16) menuturkan, bungkusan makanan kecil berupa bakpia, keripik, jamu instan, dan beberapa jenis makanan kecil lainnya itu benar-benar merupakan pemberian karyawan SPAT, dan bukan hasil curian. "Itu dikasih sama karyawan waktu kami lembur. Lalu kami simpan. Ternyata kami malah dituduh sudah mencuri," keluhnya.
Bahkan NR terkejut ketika pihak perusahaan membeber makanan pemberian yang diklaim sebagai hasil curian itu ke pihak sekolah, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang sesungguhnya. "Makanan pemberian yang kami kumpulkan itu jumlahnya hanya beberapa bungkus. Tapi tiba-tiba ketika perusahaan menyampaikan di hadapan guru dan disebut sebagai barang bukti, jumlahnya sangat banyak. Kami juga tidak tahu, kok berubah?" ujarnya mempertanyakan.
Yang lebih menyedihkan lagi, lanjut NR, pasca kejadian itu, dirinya bersama empat orang temannya diminta menandatangani surat pernyataan mengundurkan diri dari sekolah. "Padahal saya masih ingin sekolah," katanya sambil tertunduk.
Sri Hidayatuti, ibu NR, mengaku tidak terima dengan sikap sekolah yang langsung menyodori surat pernyataan bermaterai untuk mengundurkan diri dari sekolah. "Saya tertekan melihat anak saya depresi seperti ini. Hati saya hancur. Bagaimana masa depan anak saya? Dia kan masih ingin sekolah. Kenapa kok harus tanda tangan pengunduran diri?" katanya sambil menangis.
Ia menyesalkan sikap sekolah, karena dari pihak perusahaan sebenarnya sudah tidak mempersoalkan. Perusahaan hanya berpesan agar anak-anak dibina. "Ternyata tiba-tiba kok disodori pernyataan pengunduran diri. Jadi kata sekolah, anak-anak tidak dikeluarkan, tapi dikembalikan pada orang tua, karena dianggap bersalah sudah mengambil barang produk perusahaan. Padahal anak saya gak salah. Sekolah kan hanya berdasar pada katanya perusahaan, bukan katanya anak-anak," ungkapnya.
Sementara Kepala SMKN 1 Kalianget, Syaiful Rahman mengungkapkan, pihaknya tidak mengeluarkan anak dari sekolah, tapi memang diminta untuk mengundurkan diri. "Pertimbangan kami justru masa depan anak. Kalau dikeluarkan, maka dia tidak bisa sekolah lagi. Kalau mengundurkan diri kan anak masih bisa pindah ke sekolah lain," katanya.
Lebih lanjut Syaiful mengaku percaya terhadap keterangan perusahaan bahwa kelima siswanya sudah mengambil produk tanpa ijin, karena ada barang bukti yang bisa ditunjukkan oleh perusahaan. "Berdasarkan berita acara hasil pemeriksaan rutin keamanan perusahaan tersebut, didapati 19 item makanan kecil seperti bakpia, dodol telo, brownis, mie, kripik telo, dan jamu instan, yang bukan menjadi hak siswa, namun akan dibawa pulang siswa. Makanan yang dibawa itu kalau ditotal senilai Rp 3,5 juta," paparnya.
Selain itu, Syaiful percaya jika kelima siswanya sudah bersalah, karena makanan yang akan dibawa itu dari pengepakannya sudah berbeda dibanding aslinya. "Jadi packingnya itu beda. Kalau harusnya isi 5, ini dipacking isi 7. Berarti dipacking sendiri kan oleh anak-anak," ungkapnya.
Karena itu, lanjut Syaiful, pihaknya menjatuhkan sanksi pengunduran diri pada kelima siswa tersebut, selain sebagai 'shock teraphy' pada siswa tersebut, juga sebagai bentuk pembelajaran pada siswa yang lain.
"Jangan sampai adik-adik kelasnya meniru perbuatan yang tidak terpuji ini," tegasnya.
Syaiful menambahkan, dari kelima siswa tersebut, empat yang lain sudah bisa menerima sanksi yang dijatuhkan, bahkan sudah bersekolah di tempat yang lain. "Memang tinggal NR itu yang masih bersikeras tidak mau pindah. Ya kami masih akan proses dengan dewan guru, juga dinas pendidikan," pungkasnya. [tem/kun]
Kisah pilu itu berawal ketika para siswa kelas dua itu mengikuti praktek kerja industri (prakerin) selama dua bulan, di Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), Pandaan, Pasuruan. Saat kerja lembur, mereka diberi camilan produksi SPAT, seperti bakpia dan keripik, oleh karyawan setempat.
Namun makanan kecil pemberian karyawan SPAT itu, oleh kelima siswa SMKN 1 tidak dimakan, melainkan disimpan dan dibawa pulang untuk oleh-oleh. Ternyata ketika prakerin berakhir dan bawaan mereka digeledah satpam setempat, mereka dianggap sudah melakukan pencurian, karena membawa barang- barang produksi perusahaan tanpa ijin.
Salah satu siswa, NR (16) menuturkan, bungkusan makanan kecil berupa bakpia, keripik, jamu instan, dan beberapa jenis makanan kecil lainnya itu benar-benar merupakan pemberian karyawan SPAT, dan bukan hasil curian. "Itu dikasih sama karyawan waktu kami lembur. Lalu kami simpan. Ternyata kami malah dituduh sudah mencuri," keluhnya.
Bahkan NR terkejut ketika pihak perusahaan membeber makanan pemberian yang diklaim sebagai hasil curian itu ke pihak sekolah, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang sesungguhnya. "Makanan pemberian yang kami kumpulkan itu jumlahnya hanya beberapa bungkus. Tapi tiba-tiba ketika perusahaan menyampaikan di hadapan guru dan disebut sebagai barang bukti, jumlahnya sangat banyak. Kami juga tidak tahu, kok berubah?" ujarnya mempertanyakan.
Yang lebih menyedihkan lagi, lanjut NR, pasca kejadian itu, dirinya bersama empat orang temannya diminta menandatangani surat pernyataan mengundurkan diri dari sekolah. "Padahal saya masih ingin sekolah," katanya sambil tertunduk.
Sri Hidayatuti, ibu NR, mengaku tidak terima dengan sikap sekolah yang langsung menyodori surat pernyataan bermaterai untuk mengundurkan diri dari sekolah. "Saya tertekan melihat anak saya depresi seperti ini. Hati saya hancur. Bagaimana masa depan anak saya? Dia kan masih ingin sekolah. Kenapa kok harus tanda tangan pengunduran diri?" katanya sambil menangis.
Ia menyesalkan sikap sekolah, karena dari pihak perusahaan sebenarnya sudah tidak mempersoalkan. Perusahaan hanya berpesan agar anak-anak dibina. "Ternyata tiba-tiba kok disodori pernyataan pengunduran diri. Jadi kata sekolah, anak-anak tidak dikeluarkan, tapi dikembalikan pada orang tua, karena dianggap bersalah sudah mengambil barang produk perusahaan. Padahal anak saya gak salah. Sekolah kan hanya berdasar pada katanya perusahaan, bukan katanya anak-anak," ungkapnya.
Sementara Kepala SMKN 1 Kalianget, Syaiful Rahman mengungkapkan, pihaknya tidak mengeluarkan anak dari sekolah, tapi memang diminta untuk mengundurkan diri. "Pertimbangan kami justru masa depan anak. Kalau dikeluarkan, maka dia tidak bisa sekolah lagi. Kalau mengundurkan diri kan anak masih bisa pindah ke sekolah lain," katanya.
Lebih lanjut Syaiful mengaku percaya terhadap keterangan perusahaan bahwa kelima siswanya sudah mengambil produk tanpa ijin, karena ada barang bukti yang bisa ditunjukkan oleh perusahaan. "Berdasarkan berita acara hasil pemeriksaan rutin keamanan perusahaan tersebut, didapati 19 item makanan kecil seperti bakpia, dodol telo, brownis, mie, kripik telo, dan jamu instan, yang bukan menjadi hak siswa, namun akan dibawa pulang siswa. Makanan yang dibawa itu kalau ditotal senilai Rp 3,5 juta," paparnya.
Selain itu, Syaiful percaya jika kelima siswanya sudah bersalah, karena makanan yang akan dibawa itu dari pengepakannya sudah berbeda dibanding aslinya. "Jadi packingnya itu beda. Kalau harusnya isi 5, ini dipacking isi 7. Berarti dipacking sendiri kan oleh anak-anak," ungkapnya.
Karena itu, lanjut Syaiful, pihaknya menjatuhkan sanksi pengunduran diri pada kelima siswa tersebut, selain sebagai 'shock teraphy' pada siswa tersebut, juga sebagai bentuk pembelajaran pada siswa yang lain.
"Jangan sampai adik-adik kelasnya meniru perbuatan yang tidak terpuji ini," tegasnya.
Syaiful menambahkan, dari kelima siswa tersebut, empat yang lain sudah bisa menerima sanksi yang dijatuhkan, bahkan sudah bersekolah di tempat yang lain. "Memang tinggal NR itu yang masih bersikeras tidak mau pindah. Ya kami masih akan proses dengan dewan guru, juga dinas pendidikan," pungkasnya. [tem/kun]
Sumber : beritajatim.com
0 komentar:
Posting Komentar